Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2018

Ujian Terakhir di Tantangan Hari Terakhir

The last day challenge Hari ini adalah hari terakhir tantangan komunikasi produktif bersama pasangan. Hari terakhir tantangannya mak jedar, plak-plak. Kerasa banget ujiannya. Pertama saat kami berdua akan berangkat mengaji. Ibu mertua naik ke lantai atas tempat kami tinggal. "Engkok awan isok ngeterno Mbak Fulanah (istri kakak suami, alias ipar) ke pasar?" Mendengar ini telinga saya langsung mendidih. Ya Rabb.. kan bukan mahram. "Sabar-sabar, harus tetap ahsan." Tapi akhirnya mulut ini ikut bicara juga, karena suami masih diam saja. "Nggeh, mboten angsal, Bu..." Lalu suami meminta saya yang mengantarkan mbak ipar. Baiklah, saya menyetujui. #hari10 #gamelevel1 #tantangan10 hari #komunikasiproduktif #kuliahbundasayang #institutibuprofesional

Tantangan Hari ke-9

"Memutus asa terhadap manusia adalah kemerdekaan, menyambung harap kepada Allah adalah kehidupan." (Salim A. Fillah, Sunnah Sedirham Surga) Kata-kata Ustadz muda favorit ini sungguh begitu terasa. Hari itu saya sendiri. Menahan rasa sakit sendirian, komplikasi, begitu keluh saya pada suami. Tapi kesedirian ini yang membuat saya kalut. Apalagi janji suami yang pulang sore tidak bisa ia tepati. Rasa sakit itu semakin terasa karena saya tak bisa melakukan apapun. Hanya berada diatas ranjang. Sore itu saya memang mencuci tangan sendiri, setelah biasanya dengan mesin cuci. Setelah berjam-jam bergulat dengan cucian, malam harinya rasa sakit itu semakin menjadi. Pertama rasa pusing, ditambah dengan flu yang disertai dengan meriang. Belum lagi sariawan dan panas dalam. Lengkap sudah. Sebenarnya saya harus bahagia menjalani sindrom ini, karena hampir semua ibu hamil merasakan hal yang sama. Bahkan banyak yang lebih parah. Ada yang hingga bedrest, opname, atau rasa sakit ta

JANGAN BAPERAN DONG CINT, NANTI TERSIKSA!

Beberapa hari terakhir saya berbahagia, sebab ada mesin cuci baru yang digunakan kakak ipar untuk usaha laundry.  Tapi setelah kakak pindah ke rumah depan, jadi mesin cucinya dipindah ke depan. Jadilah mulai kemarin saya kembali mencuci dengan tangan.  Pertama karena susah angkat-angkat (kata orang kan bumil ndak boleh angkat-angkat 😂). Kedua karena males dengar omongan tetangga.  Malam harinya saya curhat ke aa' alias suami.  "Mas.. nanti kalo dedeknya udah lahir gimana? Mesin cucinya kan dipindah ke depan?" Kata saya.  Ia masih diam saja, sibuk dengan gadgetnya.  "Nanti tetangga bakal bilang, 'aduh.. cuciannya banyak sekali.. udah berapa hari ndak cuci baju!!'." Dia mulai angkat suara, "Kalau dengerin omongan orang terus ya bakal tersiksa." Katanya.  "Udah, senyumin aja, atau bilang 'iya.. hehe'. #hari8 #gamelevel1 #tantangan10 hari #komunikasiproduktif #kuliahbundasay

Siang yang Semangat, Sore yang Tepar

*Disclaimer: Abaikan judul yang aneh, karena saya bingung, hehe. "Lagi apa say?" Tanya saya ke suami via pesan WhatsApp. Pertanyaan klasik inilah yang seringkali diucapkan para istri pada suami. Sebenarnya pertanyaan basa-basi, hanya ingin cari perhatian. Suami yang pengertian pasti sudah paham ini. Termasuk suami saya. Kembali ke percakapan WhatsApp. "Lagi otw ke kantor." Katanya singkat, seperti biasa. Pak suami hari ini dinas ke Tuban. Alhamdulillah tidak sampai menginap. "Alhamdulillah..." Kata saya senang, karena itu artinya sebentar lagi akan pulang. "Insya Allah siang ini aku usahakan ndak tidur.. ☺" kata saya. Tentu saja setelah mendapat suntikan semangat dari suami kemarin. Baca kisah sebelumnya: http://www.nabilahaqi.com/2018/09/kita-harus-produktif.html?m=1 "Masya Allah produktifnya.." kata beliau. Ya iya dong, kemarin saja suami di rumah mengerjakan banyak pekerjaan rumah. Mulai nyuci baju, melipat, hingg

"Kita harus Produktif!"

Di tengah-tengah ospek, "Honey, sudah makan siang? Kalo sudah ndang boci (baca: sebutan kami untuk tidur siang~boci)" "Sudah, makan bubur. Aku ndak tidur." Jawabnya via pesan WhatsApp. Deg, Masya Allah so sweet sekali. Betapa dia bersemangat sekali. Padahal cuma weekend pak suami bisa  tidur siang.   "Mau cuci baju sama nyicil iCan Course (kursus Bahasa Inggris kami yang sedang antara hidup dan mati 😅)" tambahnya lagi.  Ah, aku jadi malu. Biasanya siang-siang begini saat dia kerja, saya sedang boci.  Malam harinya.  Dia meminta saya mengaktifkan lagi sosmed iCan Course. Bahkan siang tadi lelaki yang super sabar ini sudah membuat materi-materi untuk dibuat postingan sosmed. Tinggal tugas saya mendesain.  Waktu itu saya sedang cek status teman-teman WhatsApp. Suami mengintipnya.  "Kamu ngapain itu?" Saya hanya senyum-senyum.  "Ayo say, kita harus produktif." Katanya, sedikit tapi jleb.

Pelajaran Hari ke-5: Jangan Gengsian!

Pagi hari itu saya bersiap untuk ospek. Ya, meski sudah berumah tangga begini saya tetap ingin melanjutkan study. Universitaspun tergolong murah dan tidak terkenal. Pembelajarannya jarak jauh, tentu saja karena nanti saya harus menemani anak di rumah.  "Mas nanti kalau ada yang tanya-tanya, jangan bilang aku kuliah di ******* (nama universitas) ya.." "Kenapa?" tanya suami. "Malu lah! Harusnya mas juga malu karena ndak bisa nguliahin istri di universitas yang mahal." Kata saya tentu saja dengan bercanda. Saat menulis inipun ada terbersit sedikit rasa menyesal.  "Sesuatu yang ditutup-tutupin itu tidak baik.  Berterus terang adalah pendidikan untuk tidak mudah gengsi. Apalagi jika nanti menurun ke anak kita nanti, ia tidak akan mudah gengsi.  Misalnya saat ia sudah bekerja nanti. Ia rela bekerja rendahan asal tidak menyusahkan orang tua." "Saat kamu nanti tanya.. kata suami.  'Kamu ndak malu kah nak,

Uang Syubhat, Dikemanakan?

"Aku habis dapat uang proyek lho, banyak. Lebih besar dari gajimu sebulan." Kata suami sambil senyum-senyum.   "Alhamdulillah." Kata saya.  "Tapi sepertinya kita tidak bisa pakai uangnya." Tambahnya lagi.  Lho kok bisa? Ternyata suami menjelaskan bahwa uangnya itu bersumber dari proyek yang tidak jelas kehalalannya, alias syubhat.  Perusahannya bekerjasama dengan lembaga pajak yang mana sebagian besar ulama mengharamkannya.  "Yasudah ndak apa, disedekahkan saja." Kata saya.  Waktu berjalan. "Mas ada dua temenku yang nikah lho. Di  kado apa?" "Gimana kalo uang syubhatnya buat beli hadiah-hadiah buat yang menikah dan melahirkan saja?" Alhamdulillah, ide bagus. Saya menyetujuinya. Tapi tetap saja, semua hadiahnya hadiah pemberian itu tidak bisa dikatakan sebagai sedekah.  Saya teringat kalimat dari seorang pembicara, "Managing income dimulai dr prinsip halal mencari rizki. M

Pelajaran dari Suami: Silaturahim itu Prioritas

Hari ahad lalu keluarga besar suami berniat untuk mengunjungi saudara di Pasuruan. Sehari sebelumnya saya masih gamang antara ikut dan tidak. Persoalannya usia kehamilan yang masih trisemester pertama yang kata dokter masih rawan keguguran. "Gimana dong mas? Mas Fulan kan biasanya nyetirnya cepat, jadi kalo geronjalan terasa keras..." Mas Fulan ini adalah kakak suami yang biasanya menyopir saat keluarga bepergian. Saya lupa apa jawaban pasti suami saya, yang jelas suami mengiyakan. Tapi masih gamang, karena tentu saja hal ini masih bisa didiskusikan. Persoalan lain, saya ingin jalan berdua dengan suami. "Tapi alasannya nanti?" Tanya suami yang tentu harus memberi penjelasan jika tidak ikut. "Ada pengajian bagus ahad besok. Bilang aja kita pengajian." "Rasanya ndak enak kalo alasannya pengajian, masa lebih mementingkan kajian daripada keluarga." Saya terdiam. Ah.. benar juga kata suami. Lagi-lagi aku belajar dari beliau. Ba

Tantangan Hari ke-2: Jangan Mudah Berprasangka

Memasuki hari kedua tantangan melakukan komunikasi produktif dengan anggota keluarga.  Lagi-lagi saya harus belajar bersabar. Apalagi dengan sifat saya yang mudah baper dan tersinggung. Alhamdulillah, saya diberi suami yang sabar dan mau membimbing saya untuk lebih menjadi pribadi yang 'legowo'. Misalnya malam ini. Pillow talk  Saya tinggal bersama ibu mertua dan kakak ipar yang memiliki 3 anak.  Lampu dapur seperti biasa sudah saya matikan saat hendak tidur. Tapi setelah ke ruang tengah, saya dapati lampu dalam keadaan menyala. Padahal biasanya jika lupa mematikan, ibu mertua akan langsung menegur. "Anak-anak (ponakan, anak kakak ipar) gak matikan lampu. Nanti aku yang dimarahi ibu!! Huhhh!!!" Keluhku pada suami. "Kapan sih ibu marah? Mesti su'udzon kamu ini..." Begitulah, akhirnya saya mulai sedikit legowo. Yasudah. Begitulah sekelumit kisah komunikasi saya dengan suami malam ini. Semoga esok lebih baik lagi.

Tantangan Hari-1: Belajar Sabar

Tawa yang dirindukan Semua pasangan yang menikah tentu  berharap memiliki buah hati. Apa jadinya jika yang diharapkan itu tak kunjung hadir? Sedih, tentu saja.  Itulah yang saya alami sejak 3 tahun pernikahan. Hari-hari terasa sepi dan membosankan. Apalagi saat ditinggal suami dinas berhari-hari. Rasanya menjalani mimpi buruk saja.  Tapi Allah Maha Mendengar doa tiap hambaNya. "Berdoalah kepadaku, niscaya akan Aku kabulkan", begitu janji Allah di Al-Qur'an.  Alhamdulillah, kini saya merasakan sendiri janji Allah itu pasti. Kebahagiaan tak terkira saat melihat garis dua di test-pack. Sungguh Allah tak pernah menyalahi janji. Allahuakbar! Permasalahan Komunikasi dengan Suami Selama tiga tahun Allah menguji kesabaran saya. Memang disanalah kelemahan saya, mudah selalu mengeluh dan ingin menyerah.  Bahkan hanya masalah remehpun kadang saya tak bisa sabar.  Suatu kali saat sedang program hamil (sebelum masa kehamilan), dokter yang ditungg