Skip to main content

Cinta itu Memberi


Pagi kali ini. Aku menengok pagi yang mulai muncul. Mas harus berangkat pagi lagi. Tapi tetap saja, ia berusaha sesantai mungkin. Ia tahu ia terlambat. Namun ia pulang tadi malam dari Lumajang saat malam sudah pekat, sehingga harusnya ia tetap bisa memberi toleransi untuknya menikmati alunan pagi kali ini.
"Keluar ya? Pagi ini ke pasar ya." kata Ibu Mas, sekaligus Ibuku, memecah hening saat aku sedang mempersiapkan keperluan Mas.
Kemarin tidak seperti biasanya. Aku seharian di rumah menggantikan semua aktifitas ibu, termasuk jaga warung. Seharian Ibu sakit. Saat ditanya sakit apa, sakit kelelahan katanya.
"Iya bu, masak dulu, baru keluar." Kataku singkat, seperti biasanya.
Di tengah-tengah waktu memasak,
"Keluar jam berapa? Ikut melayat bareng tetangga dulu ya." Kata ibu yang segera kuiyakan. Seorang ibu pemilik mushola kemarin meninggal.
Adik bungsuku baru datang selepas ashar. Dia selalu hemat bicara saat di rumah. Akan berkata-kata jika ada yang bertanya padanya. Sama seperti Mas, kata orang-orang. Ya, membuat rumah terkadang sangat sepi meski semua sedang berkumpul. Anak-anak lain hanya datang saat akhir pekan, atau ada libur panjang. Aku sangat yakin, kehidupan akan mengajari kita segalnya.
Orang tua kita tahu seberapa besar cinta kita pada mereka. Aku, jangan tanyakan. Belum ada cinta yang bersemi. Meski begitu Mas seringkali membantu menyemainya,
"Saat ke dokter nanti, kamu yang bayarin. Biar jatuh cinta."
Aku masih ingat kalimat itu,
"Memberi tidak memerlukan cinta, tapi cinta itu pasti memberi."
Setelah beberapa episode, aku kembali bisa membaca novel. Beruntung tulisan Tere Liye bisa kubaca kali ini. Memberi secercah cahaya untuk menorehkan tinta.
Cinta, sederhana saja. Jika tidak mencintai, maka dia tidak akan dicintai. Begitu yang Rasul ajarkan.
Dipost setelah baca artikelnya Mbak Enny Law, 5-alasan-terkadang-para-nenek-dan-ibu-gak-bisa-bersatu

Comments