“Saya disini bukan untuk membantu meraih mimpi, melainkan memberi hak-hak mereka … Bahwa mereka berhak atas kesempatan-kesempatan hidup yang lebih tinggi. Saya bukan tokoh utamanya. Merekalah tokoh utamanya. Saya bukan ibu peri, tetapi mereka peri-peri kecilnya, yang dengan serbuk-serbuk ajaib mampu menggemparkan dunia, mampu mengubah Indonesia” (Pipit Indrawati, Indonesia Mengajar)
Banyak bintang-bintang kecil dalam kehidupan kita. Kita bertugas membuat lukisan di dalamnya. Lalu mereka tertawa dan menangis, seolah kita telah menjadi bagian dalam hidupnya. Bintang-bintang kecil itu adalah adik-adik kita, anak didik kita, binaan kita-apapun sebutannya- Allah hadirkan untuk kita tanami pesan-pesan kebaikan. Mengajari mereka mengenal Allah, mengenal ciptaanNya yang luar biasa, tentang ilmu-ilmu pengetahuan, dan sejuta hal berharga lain yang tidak bisa kita lakukan dalam aktivitas lain. Mengajari mereka mulai dari hal yang sederhana, membangunkan mereka untuk sholat subuh, hingga hal terumit saat kita berpikir untuk menjawab pertanyaan, “Allah itu ada dimana? Nabi itu apa? Langit itu luasnya seperti apa?”.
Kita dan mereka terkadang ada dalam suasana kekeluargaan, pembelajaran formal seperti bimbingan belajar, hingga kegiatan perkuliahan (baca : kita dan adik kelas).
Selalu ada banyak cerita tentang kita dan mereka. Tak hanya tawa, sering juga cerita tentang air mata yang mengendap di hati. Misalnya saat mereka tidak juga faham apa yang kita ajarkan, meski telah diulang berkali-kali. Saat tingkah mereka begitu liar diluar batas kemampuan kita, atau bahkan meremehkan kita. Itu semua mengajarkan kita sebuah rasa. Rasa saat dinantikan kehadirannya hingga rasa saat mereka ingin menghilang dari hadapan kita karena bosan.
Tentang rasa, akupun mengalami rasa yang berbeda, saat berada dalam lingkungan padat penduduk di tengah kota Surabaya. Beberapa hari yang lalu ada kabar yang cukup mengagetkan. Seorang gadis perempuan sekolah dasar mengalami pelecehan seksual. Berat memang melukiskan rasa berada di daerah yang netebene dekat dengan eks lokakisasi. Tadi gadis ini, beberapa hari yang lalu masih sempat belajar di surau kecil dekat rumah, bersamaku! Bersama mengeja huruf-huruf hijaiyah dan tiap hari menyapaku dengan ramah. Dunia memang sudah gila. Apakah kita akan ikut gila?
Aku masih tak sanggup mengatakan bahwa ini adalah sebuah perjuangan. Toh, aku hanya mengajar, sama seperti banyak guru lainnya. Aku masih menjalani rutinitas tanpa ada rasa mujahadah. Ya, rasa kesung-sungguhan inilah yang mulai menghilang dariku, atau mungkin guru-guru yang lain?
Membaca kisah-kisah pengajar hebat yang terbingkai dalam kisah dan buku, seperti Sekolah Pelangi harusnya membuat kita sadar. Mengajar adalah energi terbesar dalam siklus kehidupan. Kisah lain datang dari pengajar muda dalam program Indonesia Mengajar, mereka benar-benar berjuang untuk mewujudkan mimpi murid-murid mereka meski dalam waktu setahun. Membaca kisah mereka membuat kita membuang jauh-jauh kata meneyerah.
"Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu : amal sholih, ILMU YANG BERMANFAAT, dan doa anak yang sholeh." (HR. Muslim).
Mengajar itu milik semua orang, termasuk kita. Sabda Nabi ini seharusnya menjadi pelecut kita untuk menikmati aktivitas bernama mengajar. Setiap kita melukis kebaikan pada bintang-bintang kita, maka itulah yang akan menjadi penolong kita saat nyawa tak lagi ada dalam diri kita.
Mari mengajar, dan bintang-bintang itu akan bersinar!
Let's fighting!
Nabila Cahya Haqi
Amcor, 23-10-14
Banyak bintang-bintang kecil dalam kehidupan kita. Kita bertugas membuat lukisan di dalamnya. Lalu mereka tertawa dan menangis, seolah kita telah menjadi bagian dalam hidupnya. Bintang-bintang kecil itu adalah adik-adik kita, anak didik kita, binaan kita-apapun sebutannya- Allah hadirkan untuk kita tanami pesan-pesan kebaikan. Mengajari mereka mengenal Allah, mengenal ciptaanNya yang luar biasa, tentang ilmu-ilmu pengetahuan, dan sejuta hal berharga lain yang tidak bisa kita lakukan dalam aktivitas lain. Mengajari mereka mulai dari hal yang sederhana, membangunkan mereka untuk sholat subuh, hingga hal terumit saat kita berpikir untuk menjawab pertanyaan, “Allah itu ada dimana? Nabi itu apa? Langit itu luasnya seperti apa?”.
Kita dan mereka terkadang ada dalam suasana kekeluargaan, pembelajaran formal seperti bimbingan belajar, hingga kegiatan perkuliahan (baca : kita dan adik kelas).
Selalu ada banyak cerita tentang kita dan mereka. Tak hanya tawa, sering juga cerita tentang air mata yang mengendap di hati. Misalnya saat mereka tidak juga faham apa yang kita ajarkan, meski telah diulang berkali-kali. Saat tingkah mereka begitu liar diluar batas kemampuan kita, atau bahkan meremehkan kita. Itu semua mengajarkan kita sebuah rasa. Rasa saat dinantikan kehadirannya hingga rasa saat mereka ingin menghilang dari hadapan kita karena bosan.
Tentang rasa, akupun mengalami rasa yang berbeda, saat berada dalam lingkungan padat penduduk di tengah kota Surabaya. Beberapa hari yang lalu ada kabar yang cukup mengagetkan. Seorang gadis perempuan sekolah dasar mengalami pelecehan seksual. Berat memang melukiskan rasa berada di daerah yang netebene dekat dengan eks lokakisasi. Tadi gadis ini, beberapa hari yang lalu masih sempat belajar di surau kecil dekat rumah, bersamaku! Bersama mengeja huruf-huruf hijaiyah dan tiap hari menyapaku dengan ramah. Dunia memang sudah gila. Apakah kita akan ikut gila?
Aku masih tak sanggup mengatakan bahwa ini adalah sebuah perjuangan. Toh, aku hanya mengajar, sama seperti banyak guru lainnya. Aku masih menjalani rutinitas tanpa ada rasa mujahadah. Ya, rasa kesung-sungguhan inilah yang mulai menghilang dariku, atau mungkin guru-guru yang lain?
Membaca kisah-kisah pengajar hebat yang terbingkai dalam kisah dan buku, seperti Sekolah Pelangi harusnya membuat kita sadar. Mengajar adalah energi terbesar dalam siklus kehidupan. Kisah lain datang dari pengajar muda dalam program Indonesia Mengajar, mereka benar-benar berjuang untuk mewujudkan mimpi murid-murid mereka meski dalam waktu setahun. Membaca kisah mereka membuat kita membuang jauh-jauh kata meneyerah.
"Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu : amal sholih, ILMU YANG BERMANFAAT, dan doa anak yang sholeh." (HR. Muslim).
Mengajar itu milik semua orang, termasuk kita. Sabda Nabi ini seharusnya menjadi pelecut kita untuk menikmati aktivitas bernama mengajar. Setiap kita melukis kebaikan pada bintang-bintang kita, maka itulah yang akan menjadi penolong kita saat nyawa tak lagi ada dalam diri kita.
Mari mengajar, dan bintang-bintang itu akan bersinar!
Let's fighting!
Nabila Cahya Haqi
Amcor, 23-10-14
Comments
Post a Comment