Skip to main content

Dua Cahaya

                Cerpen

               Udara menyusup masuk jendela-jendela masjid dengan malas-malas, hanya sesekali. Lukman, karibku itu sedang ‘nggetu’ dengan bukunya. Sedang siang  sehabis jum’atan ini hanya bisa termenung merenungi nasib dakwah islam di sekolahku yang semakin redup. Sudah hampir tiga semester sejak pertama kali masuk SMA, kegiatan kislaman atau yang biasa disebut SKI ( Sie Kerohanian Islam) nyaris musnah di SMA negeriku ini.  Tak ada lagi siswa yang berminat untuk mencari ilmu agama, berdakwah untuk islam dan berjuang menyempurnakan akidah.
               “He! Udah pernah tahu kisahnya Muhammad Al-Fatih belum?”Suara Lukmah dengan sangat mengebu-gebu memecahkan sebuah penghayatanku.
               “Belum tuh, gimana?”Kataku penasaran.
               “Dulu pada ada seorang remaja islam bernama Muhammad A-Fatih yang baru berumur 17 tahun yang telah menggantikan ayahnya menjadi seorang raja. Semangat membara karena termotifasi oleh keterangan gurunya, Asy-Syamsudin yang membuatnya punya mimpi besar untuk menaklukkan Konstantinopel, sebuah kota yang sangat adi daya di masanya …”Kata teman yang pertama kali kanal sejak bergabung di SKI yang kini sepi “peminat” ini. Kata-katanya seolah terbakar oleh api semangat. Hingga ludahnya muncrat sana-sini.
               “Mmmm…berarti kalau sekarang mungkin kayak Amerika begono ya? Sip-sip, lanjut!” Ktaku tidak mau kalah semangat dalam mendengarkan kisahnya.
               “Bener, Lid, hingga akhirnya ia menjadi seorang panglima perang yang bertekad menaklukkan negeri itu. Dengan segenap pasukan dan senjata yang dimiliki Al-Fatih, ia mempersipakan segala sesuatu untuk menghancurkan kota yang kekuatan pertahanannya sungguh luar biasa.” Katanya dengan mata bersinar, “Tepat pada waktunya, ternyata senjata tidak cukup kuat untuk menghancurkan Konstantinopel itu. Padahal strateginya sudah sangat luar biasa. Hingga muncul ide gila dari Al-fatih untuk mengangkat kapal yang telah dibuat ke daratan, karena lewat jalur laut ternyata tidak mampu. Hingga akhirnya karena keinginan dan tekad yang kuat dari Al-Fatih dan para pasukannya, akhirnya Konstantinopel berhasil tunduk pada islam.”Katanya panjang lebar.
               “Ck-ck-ck..Luar biasa ceritamu tadi!”Celetukku saat dia mengakiri kisah fenomenalnya.
               “Eits…jangan salah, itu bukan sekadar cerita dongeng buatan manusia, melainkan kisah islam yang telah tercatat sejarah terjadi pada abad ke….Pada zaman Bani Umayyah.”Katanya yang membuat aku bagai murid yang mendengarkan takzim pada gurunya.
               “Berarti kita yang juga 17 tahun ini juga harus bisa kayak dia, Man.”kataku.
               “Hm, sampai saat ini kita belum berikan karya baut agama tercinta ini.”Kata Lukman yang membuat kami hanyut dalam pikiran masing-masing.
               “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak mau berusaha.”Kata-kata Lukman yang semakin membuatku berpikir keras.
               “Kita harus buat sutu gebrakkan untuk merubah nasib dakwah islam yang loyo di sekolah ini!”kataku sambil memukul tas yang dari tadi berselonjor di pangkuanku, tak ayal membuat Lukman terkaget-kaget, bangun dari pemikirannya pula. “Kuncinya MAN JADDA WAJADA! Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.”Lanjutku.

               “Oke Lid, mulai sekarang kita buat perjanjian untuk kita pada Allah bahwa kita kan berusaha sungguh-sungguh menyemai bibit usaha untuk menegakkan islam di bumi Allah ini, dan kita mulai di sekolah ini.” Ucap Lukman berdengung-dengung di kepalaku. Seraya mengambil sebuah kertas dan mulai mencorerkan tinta bolpoint di lembar putih itu.
               “Kami yang bertanda tangan di bawah ini : Khalid Al-Fath dan Lukmah Mudhaffar akan berjanji pada Allah dan diri sendiri dengan kekuatan yang telah di berikan sampai titik darah penghabisan menegakkan kalimat Allah disini.
Tertanda
Khalid  Al-Fath     Lukman Mudhaffar”
Lukman membubuhkan tanda tangan di bawa namanya, kemudian menyuruhku untuk tanda tangan dan kemudian di tempelkannya pada dinding ruang kecil samping masjid ini. Kami berjabat tangan dan telah berjanji untuk bersama menghidupkan islam.
Aliran darah sebuah tekat kuat mengaliri nadi kami. Masjid ini, tumbuh-tumbuhan, dan hewan-hewan kecil yang lalu lalang di luar sana, juga Allah SWT jadi saksi atas perjanjian ini. Bahwa kami akan berusaha menghidupkan suasana keislaman di SMA negeri kebanggakan kami ini. Sebuah rencana telah kami susun dan semua tinggal ‘proyek’ pengerjaan di lapangan saja.

                                                                           ***

               Sejumlah siswa laki-laki yang rapi dengan balutan busana muslim, dipermanis dengan peci, juga perempuan yang cantik-cantik berbalut jilbab, duduk berkumpul di dalam masjid sekolah kami. Iringan nasyid akapela mengiringi suasan menyenangkan nan syahdu ini. Aku dan Lukman berjabat tangan berkali-kali dengan puas atas kerja sama kami berdua.
               Ide muncul dariku untuk mengundang teman-teman dalam sebuah acara yang membuat mereka sadar akan pentingnya menuntut ilmu agama islam. Kami beritahukan pada Pak Zakaria untuk rencana ini, satu-satunya guru agama islam di sekolah ini. Beliau sangat senang mendengar rencana kami ini. Akhirnya kami datangi satu persatu kelas untuk melakukan persuasif pada mereka. Lukman yang ahli ceramah lebih banyak ngomong daripada aku. Mulanya kami kecewa saat ada beberapa kelas yang kami datangi mentertawakan undangan ini. Nyali kami sempat ciut, apalagi Pak Zakaria tidak bisa mendampingi kami karena ada urusan minggu itu.
               “Ayo rek sapa gelem melok ngaji karo arek-arek iki?”kata seorang kakak kelas tiga dengan bahasa Surabaya yang renyah, yang akhirnya disambut tawa teman-teman sekelasnya. Dadaku terasa panas, dan akhirnya menjadi angkat bicara juga.
               “Kakak-kakakku, umur kita sudah tidak anak-anak lagi, buat apa kita hidup kalo hanya untuk guyon? Kami hanya menyampaikan amanah, setiap kelas wajib mengirimkan minimal tiga anak yang mewakili. Ini menyangkut nilai agama islam kakak-kakak.” Suasana menjadi panas karena omonganku ini. Tapi aku bangga karena berani berkata ini pada kakak-kakak kelas. Aku juga sempat bingung dengar perkataanku barusan, amanah? Dari siapa? Tentu saja amanah dari Allah, jawabanku sendiri dalam hati. Lukman juga mengapresiasi tindakan dari peristiwa pelik ini.
               Menurut kami peristiwa yang paling ekstrem lagi adalah saat ada salah satu yang nyeletuk dari adik kelas satu yangkami datangi.
               “Buat apa sih kak, acara itu? Daya gunanya ada nggak”. Kini ganti Lukman pinter ngomong itu yang muntab. “Pake lagaknya sok kaya orang pinter, padahal pertanyaannya mencerminkan dia bukan anak yang punya intelektualnya tinggi. Fiuh!”begitu kata Lukman kesal setelah keluar dari dari kelas itu.
               Jatah yang kami perkirakan datang adalah sekitar enam puluh lima anak. Karena kami berhasil meminta Pak Zakaria untuk kami memberikan embel-embel “wajib”, karena kalau tidak begitu, yakin tidak ada yang mau datang.
               Kakakku memiliki grup nasyid, maka tidak aku sia-siakan untuk mengajak siswa sekolah kami ini. Mereka kuminta untuk menyumbangkan lagu dalam acara kami ini. Bahkan mereka justru senang meskipun tanpa ada bayaran.
               Sedangkan Ustadz Rohi, paman Lukman yang menjadi penyiar di salah satu radio islam Surabaya yang juga biasanya mengajari Lukman cermah juga kami minta untuk menjadi pengisi acara kami. Dengan semua persetujuan dari pihak guru, terutama kepala sekolah, kami melaksanakan sebuah acara bertema “Kembali Belajar”.
               Mengingat itu rasanya keraja keras kami berdua terbayar. Meski harus pulang sore setiap hari, kami berdua mampu sukses mengadakan acara ini. Ya, berdua!
Gemuruh tepuk tangan saat tim nasyid kakakku mengakhiri kicau merdunya. Semburat rasa senang karena terhibur terlihat dari wajah teman-teman di acara yang berhasil kami langsungkan sekarang ini.
               Ustadz Rohi, paman kebanggakan Lukman juga berhasil merebut perhatian teman-teman yang berjumlah sekitar seratusan, memang rupanya jumlahnya di luar batas perkiraan. Ustadz yang pandai melawak itu juga membawa anak-anak pada sebuah dialog santai, hingga pada akhirnya ketika Ustadz Rohi bertanya, “Mau belajar lagi nggak?” Pertanyaan itu langsung dibambut suara koor teman-teman, “Mau….”
               Kami merasakan suatu rasa yang tak terungkap kata-kata. Campuran rasa senang, bangga, haru, campur aduk bagai buah-buahan yang lezat dicampur jadi satu, entah apa namanya, intinya hanya satu: puas. Jadwal kajian untuk membahas nilai-nilai islam yang luas dan universalpun kami buat. Pak Zakaria bersedia memberi siswa pelajaran tentang tafsir Al-Qur’an sehabis sholat Jum’at. Pak Wahid, guru Matematika yang pandai tilawai Qur’an, suaranya yang menawan lebih indah dari gesekan biola juga telah kami minta untuk mengajari siswa-siswa yang bergabung dalam SKI ini. Tak lupa para alumni-alumni SKI yang masih ada kontak dan memang pumya semangat untuk menyebarkan islam juga kami hubungi, mereka bersedia mengajar teman-teman setiap hari Sabtu di masjid kebanggakan kami ini.
               Perlahan tapi pasti, siswa yang tertarik dengan program kami ini semakin lama semakin bertambah, mungkin teman-teman yang telah ikut bergabung mengajak teman-temannya lainnya, karena kegiatan disini juga sangat beragam. Kadang jika merasa bosan belajar di masjid, maka kami mengadakan kajian di sebuah taman di kota kami, sebuah tempat dengan tumbuh-tumbuhan beraneka jenis yang dibuat gratis oleh pemerintah kota, membuat suasana kajian jadi tambah syahdu karena ditemani makhluk-makhluk Allah yang snantiasa bertasbih memujiNya.
               Aku dan Lukman tak menghentikan perjuangan sampai disini.  Lukman belajar mengisi kajian disini pula, kuakui dalam hal ini dia lebih hebat dari aku. Aku masih memendam rasa takut dan nervous untuk berbicara di depan umum, apalagi bila dihadapan adik kelas, bagaimana jika nanti yang kusampaikan ternyata salah, bisa-bisa bukan mencerahkan, malah mensesatkan.
               “Kamu harus percaya dengan ilmu yang kamu miliki. Kuncinya hanya percaya dengan kekuatan dalam dirimu, jangan malah kau sembunyikan, harus kau keluarkan dan bagi.”Begitu kata Lukman suatu kali menyemangatiku bila aku menolak mengisi kajian di sekolah.
               Berhasilnya kami mempersatukan teman-teman, adik-adik, dan kakak-kakak yang terketuk hatinya untuk belajar islam ini merupakan karya besar yang telah aku dan Lukman perjuangkan bersama. Tak heran jika persahabatan kamipun sangat akrab, selalu bersama, diskusi bersama, hingga pijat-pijatan jika rasa lelah menyembul, hehe…
               Persahabatan tak akan lengakap tanpa sebuah perbedaan. Tidak jarang kami sampai berdepat mengenai suatu hal yang berbeda, namun perbedaan yang masih diluar masalah akidah itu selalu tetap kami orientasikan untuk memperjuangkan islam, agama yang paling benar ini. Terkadang kami melakukan suatu persaingan, merasakan nikmatnya Fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam kebaikan. Pernah suatu kali kami sepakat untuk berlomba untuk datang pertama kali dalam kajian yang diadakan jam tujuh pagi seperti biasa. Malamnya aku bertekad untuk datang pertama kali datang dalam kajian itu. Namun saat jam menunjukkan pukul setengah tujuh, saat aku asyik memanaskan sepeda motor, tiba-tiba hpku berdering tanda ada sms masuk, “Ayo berangkat Lid! Masih ngorok ya…hehe…”Kesal bercampur kecewa menyembul dari dalam dadak, gigiku bergemeletuk. Namun aku kembali tersadar bahwa perlobaan dalam kebaikan itu diperlukan, agar ada dorongan untuk jadi yang terbaik.
               Teman-teman menyebut persahabatan kami sdengan ‘Dua Cahaya’. Cahaya yang berhasil menerangi sekolah yang dulu redup akan cahaya islam. Membuat kehidupan menjadi lebih hidup dengan mengenalkan arti hidup. Ya, kami masih mengingat ucapanku saat pertama kali mengajak murid-murid bergabung SKI dengan mengadakan sebuah acara. Usia belia ini tidak boleh digunakan untuk bergurau dan bersantai-santai terus, harus mampu membuat sebuah karya.
               Kini aku baru menyadari rasa kasih sayang yang terciprat dari lubukku pada kawan seperjuanganku, Lukman. Kasih cinta sebuah ukhuwah persaudaraan, bahkan melebihi hubungan sedarah. Tapi ternyata benar kata sebuah syair, boleh kau mencintai sesuatu asal tapi ingatlah pasti akan berpisah. Benar, suatu pagi di masjid saat adik kelas serius dengan sebuah kajian, Lukman dengan wajah lusuh ia berkata pelan,
               “Sebuah proyek dakwah telah memanggilku, Lid. Di Jogjakarta seorang saudara bercerita bahwa di dalam kampungnya tidak ada sama sekali kegiatan keislaman. Beliau memintaku untuk sekolah sekaligus kerja disana. Aku diminta mengajar ngaji dan mengisi pengajian-pengajian di sana, di Jogjakarta. Berat memang meninggaklan sekolah ini, yang telah kita hidupkan bersama-sama.”kata-kata Lukman yang langsung bagai sengatan listrik  membuat bibirku kelu. Mampukan aku berjuang sendirian disini sendiri?
               “Kamu tak sendiri Lid, ada pak Zakaria, para alumni yang masih sangat semangat, teman-teman , dan jangan lupa Allah SWT.” Kata Lukman seakan tahu isi hatiku.
               Aku tak mampu berbuat apa-apa. Semua terasa begitu cepat, esoknya ia berpamitan pada guru-guru, alumni dan semua teman-teman. Aku bahkan tak tahu bahwa ternyata dia sudah mengurus perpindahan tanpa kuketahui sebelumnya. Aku jadi tahu alasan dia akhir-akhir ini menjadi terlihat lebih murung. Tubuhku menjadi lemas, rasanya semangatku lenyam seketika. Sungguh aku belum mampu berjuang tanpanya.
               “Kita tetap akan menjadi cahaya, berjuang bersama-sama. Aku akan tetap jadi cahaya, tapi akan menerangi tempat lain, karena disana lebih membutuhkanku.”Kata Zakaria lemah setelah kami saling berpelukan.
               “Kita harus masih tetap berjuang, islam akan musnah tanpa jiwa-jiwa seperti kita!” Kata Lukman sambil menepuk dadaku. Aku tersenyum, aku jadi tersadar, buat apa bersedih, kami belum berpisah, kami kan tetap berjuang sama-sama, meski di tempat yang berbeda. Toh, kami masih bisa saling kontak, untuk sampai ke Jogjapun sangat mudah, cukup naik kereta satu kali. Kapanpun aku mau, aku bisa kesana.
               “Benar Man, kita akan tetap jadi dua cahaya.”Aku mengucap lirih sambil tersenyum bangga. Telah bisa mengenal remaja sehebat dia.
               “Aku beruntung Lif, punya teman seperti kamu. Hahaha..”Ternyata persahabat kami tak mengenal perpisahan.
Dua cahaya yang akan selalu hidup menerangi dunia. Akan menghilangkan kegelapan, menghantarkan pada cahaya dengan menyebarkan keping-kepingan perjuangan.
“…Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikatNya, supaya Dia mengelurakan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman”(QS. Al-Ahzab (33) : 41-43).

                                                                                                          

Comments